( foto: pixabay) Tulisan ini didedikasikan untuk diri sendiri yang setelah 5 tahun akhirnya tamat juga alias lulus alias sarjana aka pengangguran baru yang dengan segera siap mengembara mencari kerja. Pengen bilang aja ternyata jadi fresh graduate itu banyak sensasinya, perlahan tapi pasti pikiran mulai mumet mikirin kehidupan selanjutnya. Bukannya dulu langkah ke depan tidak dipikirkan sama sekali, semisal setelah lulus ini mau kemana, jadi apa dan segala macamnya. Itu malah sudah jadi isu yang magerin kepala sampai dibawa kemana-mana. (foto: pixabay) Cuma ya gitu, multitasking kayaknya beneran mitos. Mikirin dua hal lebih dalam satu waktu itu ternyata bukan saya, wkwk. Efeknya kepala jadi kayak ketiban beras sekarung. Berat. Bukannya fokus dan menyelesaikan masalah, yang ada justru kepala jadi pusing hampir tujuh keliling. Sadar tidak sadar usut punya usut setelah di resume ini petanda kalau saya harus reset dan mulai dari 0. Menuju langkah baru di dunia yang baru, dunia setelah s...
Derap Langkah Nurlaini “anak” Gunung Manahan
Hidup adalah sebuah pilihan. Berapun usia yang kita miliki, segala hal yang sudah kita pilih akan menentukan tujuan kita berikutnya. Bahkan, ketika kita tidak memilih, itu juga dianggap sebagai sebuah pilihan.
Mendengar kata gunung Manahan, mungkin terdengar asing bagi
kebanyakan orang. Banyak dari kita yang mungkin akan bertanya-tanya dimanakah
daerahnya? Disanalah Nurlani atau yang akrab di sapa laini ini tinggal tepatnya
di jorong VII gunung Manahan, Nagari Koto Nopan, Kecamatan Rao Utara, Kabupaten
Pasaman, Provinsi sumatera barat.
Hutannya yang masih Asri, dengan
tumbuhan-tumbuhan hijau yang masih terjaga keelokkannya menjadikan daerah ini memiliki udara yang
sejuk dan terasa dingin di kulit. Disana, juga Banyak satwa yang masih
berkeliaran dengan bebas di alam terbuka. Seperti, monyet yang akan dijumpai
jika kita melewati sepanjang jalan menuju Jorong VII gunung Manahan.
Nurlaini, anak dari Asnal
nasution dan Dermawati ini merupakan anak ke dua dari lima bersaudara. Lahir di
gunung Manahan, 27 juli 1997. Ia adalah seorang mahasiswa yang saat ini duduk
di bangku perkuliahan jurusan Teknologi Pertanian Universitas Andalas.
Mahasiswa yang lulus melalui jalur SNMPTN ini merasa sangat bersyukur dapat melanjutkan
pendidikan ke jenjang Peguruan Tinggi Negeri. Bagaimana tidak, Keelokkan gunung
Manahan ternyata tak seelok kehidupan sosial masyarakat sekitarnya. Ia dapat
dikatakan sebagai satu-satunya remaja seusianya di Jorong VII gunung Manahan
yang dapat mengecap pendidikan perguruan tinggi negeri.
Masalah ekonomi dan pemikiran
masyarakat yang masih kolot, pengetahuan yang masih tradisional, Di tambah dengan
sarana yang tidak memadai, memperburuk keadaan sosial masyarakat setempat. Banyak
masyarakat yang buta huruf. Daerah yang merasakan terangnya malam ini, baru dialiri
listrik sekitar 2 tahun yang lalu. Banyak remaja produktif seusianya memilih
merantau dan tidak melanjutkan pendidikan mereka. Bahkan, ketika sudah kembali
dari perantauan banyak dari mereka yang memilih menikah di usia dini. Hal ini
bahkan didukung oleh kebanyakan orang tua disana yang mengganggap bahwa seorang
wanita tidak perlu sekolah tinggi-tinggi yang penting bagaimana caranya mereka
dapat mencari uang. Sedangkan, kuliah hanya dianggap hanya menghambur-
hamburkan uang. Disana pun, masih kental dengan kepercayaan tentang adanya ilmu
hitam.
Hal inilah yang sangat tidak
diinginkan oleh laini, Laini tahu betul pendidikan yang ia jalani tidak akan
sia-sia. Ia ingin membahagiakan kedua orang tuanya. semangatnya untuk terus
melanjutkan pendidikan didukung oleh keluarganya. Ibunya tidak ingin laini dan
ketiga adiknya, yuliana (SMA), Purnama Sari (SD) dan M. Kahfi Nasution (SD)
seperti sang abang yang gagal berkali-kali saat mengikuti tes polisi setelah
lulus dari SMK di Rao. Padahal, saat itu ayah dan ibunya berhutang kesana sini
untuk mendapatkan biaya. Bahkan, sampai saat ini hutang itu pun masih belum
terlunaskan.
Ayah dan ibunya adalah seorang
petani. Untuk menambah penghasilan, terkadang ibunya juga menyempatkan diri
pergi ke kebun karet, kemiri, dan coklat. Penghasilan yang diperoleh perminggu
sekitar Rp.500.000 yang digunakan untuk memenuhi segala keperluan rumah tangga
dan keperluan anak-anak yang bersekolah. Pusat pendidikan yang letaknya di Rao sekitar
30 km jauhnya dari rumah, membuat Laini hidup terpisah dengan kedua orang tua
semenjak SMP dan SMA. Kata-kata ibunya adalah penguat sehingga ia mampu
menjalani hari-harinya yang panjang di tempat kos. “kalau kamu masih dikampung,
kamu nggak akan berkembang. Jangan menyerah...ingat masa depanmu” ungkap laini,
meniru yang pernah ibunya katakan.
Hanya diberi uang jajan sebanyak
Rp. 60.000/minggu membuat laini tahu diri dalam memenuhi kebutuhannya
sehari-hari. Meskipun, seringkali kesusahan karena selalu kekurangan uang dikarenakan
banyaknya tugas yang harus di foto copy, ditambah keperluan SMA yang lain. Bahkan
ia pernah tidak jajan karena tidak ada uang. Namun, Suasana sekolah yang menyenangkan
membuat perjuangan yang dilakukannya dirasa tidak sia-sia. Ia juga Terbantu,
dengan beasiswa yang didapatnya saat di kelas dua SMA. Dipakai untuk membantu membayar keperluan
abang yang saat itu masih sekolah. Kadang juga untuk membayar hutang. Ia Jarang dikunjungi orang tua, mirisnya juga
tidak pernah saling berkomunikasi melalu hp, dikarenakan tidak adanya jaringan
telpon dikampung laini hingga saat ini. Hanya ayahnya yang beberapa kali
mengunjunginya.
Lulus SNMPTN ibunya sampai
meneteskan air mata, saking bangganya dengan sang anak yang dapat melanjutkan pendidikan
keperguruan tinggi. Walaupun, dengan resiko melepaskannya sang anak keluar
kota. Menginjakkan kaki di padang membuat laini sadar bahwa dunia tidak
sesempit yang dipikirkan. Ia berharap agar kedua orang tuanya tidak sering
bertengkar lagi. Harapannya , ia ingin mendapatkan pekerjaan yang baik dan bisa
membanggakan kedua orang tua. Ia berkeinginan membawa keluarganya ke Padang. Keinginan
terbesarnya adalah ingin membawa kedua orang tuanya ke mekkah.
Komentar
Posting Komentar